Rabu, 11 Maret 2009

Motif dan Kepuasan Mahasiswa/I Dalam Menggunakan Internet


Abstrak

Perkembangan media telah mencapai tahap konvergensi yang ditandai oleh adanya internet sebagai media yang tidak mengenal batas ruang dan waktu. Perkembangan internet sendiri di dunia sudah sangat pesat, sedangkan di Indonesia perkembangannya baru dimulai pada tahun 1995 sebagai forum diskusi yang berlanjut pada terbentuknya komunitas maya.
Sebagai media baru yang konvergen, internet akhirnya banyak digunakan sebagai alat komunikasi oleh banyak kalangan, baik intelektual, praktisi, bahkan mahasiswa. Oleh karena itu penelitian ini berusaha untuk menganalisa mengenai motif dan kepuasan, dengan menggunakan Teori Uses and Gratifications, mahasiswa/i FISIP UPH dalam menggunakan internet.
Penelitian ini sendiri menggunakan metode survai dengan responden sebanyak 60 mahasiswa/I yang akan diambil secara non-probabilitas secara purposif. Dan diharapkan bahwa penelitian ini dapat menggambarkan bagaimana motif dan kepuasan mahasiswa/i terhadap internet sebagai alat komunikasi.

Kata Kunci : Internet, Uses & Gratifications (motif dan kepuasan), survai non-probabilitas, purposif sampling


A. Pendahuluan

Perkembangan internet bukan hanya merubah cara pandang individu mengenai sebuah medium, tetapi juga merubah perilaku individu sebagai pengguna medium. Individu yang selama ini melakukan interaksi melalui tatap muka dan mendapatkan reaksi secara langsung, berubah menjadi terkendala secara ”lambat” dengan adanya medium seperti internet. Walaupun saat ini perkembangan interaksi secara tatap muka melalui internet terus diperbaharui, namun hal tersebut tidak serta merta menghilangkan hambatan yang terdapat pada sebuah medium.
Perubahan lainnya juga terjadi dalam hal bertransaksi, bermain ”game”, ataupun melakukan hubungan atau mengirimkan pesan. Dalam hal bertransaksi, sebelumnya dilakukan dengan negosiasi melalui tatap muka, berubah menjadi bisa dilakukan melalui electronic mail atau melalui website; begitu pula ketika bermain ”game”, yang sebelumnya hanya bisa berinteraksi atau melakukan pertandingan dengan teman yang bermain game tersebut pada tempat permainan, berubah dengan permainan yang bisa dilakukan dengan teman atau penggemar ”game” dibelahan dunia lain. Sedangkan dalam berhubungan juga mengalami perubahan yang sebelumnya menggunakan pos sebagai sarana atau medium, bisa langsung menggunakan internet dan lebih pribadi sifatnya, sehingga segala sesuatu yang sifatnya rahasia menjadi hal yang rahasia.
Pertumbuhan pengguna internet menurut Slyvia Sumarlin, Ketua Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia, perkembangan pengguna internet di Indonesia berpotensi bertambah hingga 5 juta pengguna. Ini dikatakan disela-sela acara peluncuran IIX. (http://www.detikinet.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/12/tgl/16/time/155524/idnews/720923/idkanal/328). Sebelumnya pengguna internet, sampai tahun 2005, dapat dikatakan mengalami peningkatan yang signifikan. Hal tersebut terlihat dari data dibawah ini :
Perkiraan resmi dari APJII terhadap jumlah pelanggan dan pemakai internet selama ini dan perkiraan sampai akhir tahun 2006 adalah sesuai dengan tabel berikut ini:
Tahun
Pelanggan
Pemakai
1998
134.000
512.000
1999
256.000
1.000.000
2000
400.000
1.900.000
2001
581.000
4.200.000
2002
667.002
4.500.000
2003
865.706
8.080.534
2004
1.087.428
11.226.143
2005*
1.500.000
16.000.000
Tabel : Perkembangan Jumlah Pelanggan & Pemakai Internet (kumulatif)* perkiraan s/d akhir 2005

Tabel diatas memperlihatkan pertumbuhan tersebut terjadi sangat signifikan. Tetapi dari tabel diatas juga memperlihatkan bahwa pertumbuhan individu yang menjadi pelanggan akan terjadi sangat lambat bila dibandingkan pemakai dimana mencapai 16 juta pemakai. Perbedaan diantara keduanya adalah pemakai adalah individu yang menggunakan internet dimanapun ia ingin menggunakannya, seperti wartel, rumah, kantor, rumah sakit, sekolah atau lainnya. Sedangkan pelanggan sangat kecil, karena mereka harus membayar mahal dikarenakan saluran koneksi dengan menggunakan kabel telepon lambat.
Pertanyaan yang muncul karena perubahan akibat munculnya internet sebagai medium baru adalah apakah penggunaan internet telah merubah motif dan kepuasaan individu, mahasiswa/i FISIP Universitas Pelita Harapan yang dijadikan responden ?




B. Kerangka Teoritis

Penelitian tentang uses and gratifications seringkali diasumsikan sebagai penelitian mengenai pengaruh. J.D. Rayburn II memberikan ilustrasi mengenai teori Uses and Gratification (selanjutnya disebut sebagai UG) seperti dikutip oleh Salwen and Stacks (1996, 145) sebagai berikut, “after years of research on media “effects” yielded mixed and often disappointing findings, sociologist proposed an alternative model to account for how individuals used the media”. Pernyataan ini mengindikasikan bahwa model pendekatan UG memandang mengenai pola penggunaan media oleh orang sebagai suatu tindakan yang akan memberikan kepuasaan bagi dirinya.
Awal dari Teori UG dinyatakan oleh Harold Laswell yang berusaha untuk mempertanyakan mengapa orang memberikan perhatian pada media, terutama difokuskan pada 3 (tiga) fungsi komunikasi massa, yaitu pengawasan lingkungan, korelasi peristiwa, dan penyebaran warisan budaya. Lalu pada tahun 1960, Wright menambahkan 1 (satu) lagi fungsinya, yaitu hiburan. Perkembangan berikutnya dilakukan oleh banyak ilmuwan komunikasi, seperti Katz, Blumler & Gurevitch mengenai tipologi partisipasi khalayak terhadap penggunaan media, terutama media tradisional, hingga sekarang berkembang untuk meneliti mengenai media baru atau internet.
Katz, Blumler & Gurevitch (1974) seperti dikutip oleh West and Turner (2007, 428) menyatakan terdapat 5 (lima) asumsi dasar dari Teori UG :
the audience is active and its media use is goal oriented
the initiative in linking need gratification to a specific medium choice rests with the audience member
the media compete with other sources for need satisfaction
people have enough self-awareness of their media use, interests, and motives to be able to provide researchers with an accurate picture of that use
value judgments of media content can only be assessed by the audience

Dari 5 (lima) asumsi diatas peneliti akan menekankan pada asumsi pertama dan keempat untuk memberikan gambaran mengenai penelitian ini walaupun kita tidak mungkin mengabaikan asumsi lainnya. Kita akan mulai dari khalayak yang bersifat aktif. Seperti dikatakan oleh LittleJohn (2005,286), “the audience member is largely responsible for choosing media to meet needs and knows his or her own needs and how to meet them”. Jadi seorang khalayak aktif adalah khalayak yang mampu bertanggungjawab penuh terhadap pilihan-pilihan program yang dibuatnya sehingga dapat memenuhi kebutuhan pribadinya.
LittleJohn (2005,286) juga mengeluarkan pernyataan mengenai khalayak yang aktif pada pernyataannya mengenai Teori UG :
“Compared with classical effects studies, the uses and gratifications approach takes the media consumer rather than the media message as its starting point, and explores his communication behavior in terms of his direct experience with the media. It views the members of the audience as actively using media contents, rather than being passively acted upon by the media”

Oleh karena itu, penggunaan Teori UG lebih banyak akan menitikberatkan pada khalayak yang berusaha untuk memenuhi kebutuhannya terhadap isi suatu media sehingga akan menimbulkan kepuasaan terhadap dirinya akibat terpenuhinya kebutuhannya terhadap isi media.
Sedangkan gratifications (kepuasan) dapat diartikan menurut LittleJohn (2005,286) sebagai, “ your beliefs what a medium can give you and your evaluations of this materials”. Jadi, apabila kita menginginkan suatu program acara hiburan, maka anda percaya bahwa acara situasi dan komedi (sitcom) akan memberikan kepuasaan kepada anda, anda akan mencari program tersebut, begitupun sebaliknya, jika anda tidak menyenanginya anda tidak akan mencari program acara tersebut.
Wilbur Schramm seperti dikutip oleh Baran & Davis (2003,257) pada awalnya mencoba untuk menggambarkan antara kebutuhan dan kepuasaan khalayak dalam suatu bentuk matematis yang beliau sebut sebagai “Fraction of Selection[1]” . Gambarannya adalah sebagai berikut :
Expectation of Reward
Fraction of Selection = -------------------------------
Effort Required

Penggambaran ini memperlihatkan bahwa adanya suatu rata-rata dimana pembagian antara penghargaan dan usaha adalah suatu bentuk kepuaasan apabila kepuasaan yang didapat lebih tinggi dibandingkan usahanya. Gambaran ini bisa serupa dengan prinsip ekonomi “dengan menggunakan usaha yang kecil, untuk mendapatkan hasil yang besar”.
Dalam menggunakan teori uses and gratifications, maka peneliti menggunakan campuran indikator yang digunakan untuk menjawab permasalahan penelitian. Campuran indikator tersebut diambil dari Charney (1996) (http://faculty.colostate-pueblo.edu/samuel.ebersole/diss/iclt.pdf) membaginya dalam 8 (delapan) factor, yaitu keep informed, diversion-entertainment, peer identity, good feelings, communication, sights & sounds, career, coolness. Kemudian Yoo (1997) membaginya dalam 6 (enam) factor, yaitu : entertainment, transaction (general), sociability building, information, sociability maintain, transaction (task). Lalu Kaye (1998) membaginya juga dalam 6 (enam) factor, yaitu : entertainment, social interaction, pass time, escape, information, web site preferences (http://faculty.colostate-pueblo.edu/samuel.ebersole/diss/iclt.pdf ); lalu, Flaherty, Pearce, and Rubin (1998) dikutip Zizi Papacharissi & Alan Rubin (www.questia.com) menemukan bahwa individu menggunakan computer untuk memuaskan factor-faktor berikut ini, yaitu a) interpersonal needs (i.e. inclusion, affection, control, relaxation, escape and pleasure); b) needs traditionally fulfilled by media (i.e. social interaction, pass time, habit, information, and entertainment); c) other needs (i.e. time shifting and meeting people).
Dengan pertimbangan tersebut peneliti akan mencoba mengamati penggunaan dan kepuasan khalayak terhadap internet dalam penelitian ini dengan menggunakan beberapa kategori penting, yaitu : 1) information; 2) entertainment; 3) social interaction; 4) Interpersonal needs or utility. Di mana kategori pertama, kedua dan ketiga merupakan model yang berasal dari penggunaan media tradisional sedangkan yang keempat merupakan penggunaan new media, dalam hal ini internet.


C. Metodologi

Pada penelitian ini dianalisis dengan cara berpikir deduktif dengan pendekatan kuantitatif-positivistik dimana peneliti akan menganalisis mengenai pengaruh motif penggunaan internet dan kepuasaan yang didapatkan responden setelah menggunakan internet.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survai dengan tujuan eksplanasi dalam rangka untuk menjelaskan mengenai motif dan kepuasaan dalam menggunakan internet. Survai itu sendiri menurut Babbie (2004, 243) “survey research is a frequently used mode of observation in the social sciences”. Sedangkan menurut West & Turner (2007, 77), “ survey research is a form data collection that uses some sort of questionnaire administered to a group of people”. Jadi, bisa disimpulkan bahwa penggunaan survey sebagai metode adalah untuk melakukan pengamatan kepada responden dengan menggunakan kuesioner sebagai alat penelitian
Sedangkan pengumpulan datanya diambil dengan cara non-probabilitas dengan metode purposif, dimana responden tidak memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih namun pemilihan dilakukan berdasarkan karakteristik responden yang memiliki komputer.
Sedangkan hipotesis uji yang akan dilakukan tergambarkan dalam 3 (tiga) karakteristik :
1. Terpuaskan. Apabila nilai rata-rata Gratifications Obtained (GO=Kepuasaan) lebih besar dibandingkan nilai rata-rata gratifications sought (GS=Motif)
2. Sama. Apabila nilai rata-rata Gratifications Obtained (GO=Kepuasaan) sama dengan nilai rata-rata gratifications sought (GS=Motif)
3. Tidak Terpuaskan. Apabila nilai rata-rata Gratifications Obtained (GO=Kepuasaan) lebih kecil dibandingkan nilai rata-rata gratifications sought (GS=Motif)
D. Hasil dan Pembahasan

Pada bagian ini akan terbagi kedalam 2 (dua) sub-bagian yaitu hasil penelitian yang memperlihatkan hasil yang didapatkan setelah responden menjawab pertanyaan yang terdapat dalam kuesioner serta pembahasan mengenai skor rata-rata keseluruhan untuk mengetahui mengenai hasil kepuasaan yang didapatkan

1. Hasil Penelitian
1.1. Demografis Responden
Tabel 1.1
Jenis Kelamin
n = 60
No
Faktor
Frekuensi
Persentase (%)
1
Laki-Laki
10
16,7
2
Perempuan
50
83,3
Total
60
100
Sumber : Hasil Olahan, 2007

Data dari tabel 4.1 memperlihatkan bahwa responden kebanyakan adalah perempuan yaitu sebesar 83,3 % atau sebanyak 50 responden.

Tabel 1.2
Menggunakan Internet
n = 60
No
Menggunakan Internet
Frekuensi
Persentase (%)
1
Tidak
0
0
2
Ya
60
100
Total
60
100
Sumber : Hasil Olahan, 2007

Hasil dari tabel 4.2 memperlihatkan bahwa semua responden menggunakan internet atau sebanyak 60 responden atau 100 %.

Tabel 1.3.
Pengeluaran/bulan
n = 60
No
Pengeluaran/bulan
Frekuensi
Persentase (%)
1
< 1 juta
29
48,3
2
1 juta – 1,5 juta
17
28,3
3
1,51 juta – 2 juta
7
11,7
4
> 2 juta
7
11,7
Total
60
100
Sumber : Hasil Olahan, 2007
Hasil dari tabel 4.3 memperlihatkan bahwa pengeluaran responden paling besar adalah dibawah 1 juta yaitu sebesar 48,3 %.

Tabel 1.4
Cara mengakses Internet
n = 60
No
Lama Menggunakan Internet
Frekuensi
Persentase (%)
1
Berlangganan ISP
31
51,6
2
Akses Wireless
24
40
3
Akses Wartel
3
5
4
Akses Teman
1
1,7
5
Lainnya
1
1,7
Total
60
100
Sumber : Hasil Olahan, 2007

Tabel 4.4 memperlihatkan bahwa responden paling banyak mengakses internet melalui provider atau ISP (Internet Service Provider) sebanyak 31 responden atau 51,6 %.
Tabel 1.5
Lama Menggunakan Internet
n = 60
No
Lama Menggunakan Internet
Frekuensi
Persentase (%)
1
< 30 menit
2
3,3
2
30 menit - 1 jam
13
21,7
3
1 jam 1 menit – 1 jam 30 menit
11
18,3
4
> 1 jam 30 menit
34
56,7
Total
60
100
Sumber : Hasil Olahan, 2007

Tabel 4.5 memperlihatkan bahwa responden paling lama menggunakan internet adalah > 1 jam 30 menit yaitu sebanyak 56,7 %.

1.2. Motif Individu Ketika Menggunakan Internet

Pada bagian ini akan dideskripsikan mengenai hasil dari motif individu dalam menggunakan internet yang dibagi dalam 4 (empat) tabel, yaitu tabel mengenai kebutuhan pribadi, kebutuhan mencari informasi, hiburan, dan interaksi sosial.
Masing-masing tabel adalah total keseluruhan jawaban yang diberikan oleh individu pada masing-masing item pertanyaan di tiap indikator serta persentase dari hasil keseluruhan jawaban dari keempat indikator.

Tabel 1.6
Indikator Interpersonal Needs
No
Item Pertanyaan
Rata-rata
1
Mencari Kredibilitas Diri
3,40
2
Mencari Penghargaan dari Orang Lain
2,87
3
Mencari Status
2,95
4
Mencari Kepercayaan Diri
3,20
Rata-Rata per Indikator
3,11
Sumber : Hasil Olahan, 2007

Tabel 4.6 memperlihatkan bahwa rata-rata pada indikator Kebutuhan Interpersonal dalam menggunakan internet menghasilkan 3,11 dari keseluruhan variable motif penggunaan internet. Sedangkan item pertanyaan mengenai mencari kredibilitas diri menghasilkan skor rata-rata tertinggi yaitu 3,40.

Tabel 1.7
Indikator Informasi
No
Item Pertanyaan
Rata-rata
1
Mudah mendapatkan informasi
4,53
2
Mencari informasi untuk tugas perkuliahan
4,63
3
Informasi untuk menambah wawasan
4,32
4
Berita mengenai peristiwa dalam negeri
4,20
5
Penyelesaian masalah
3,97
6
Informasi yang tidak tersedia di media lainnya
4,42
7
Mempelajari dalam melakukan sesuatu
4,00
Rata-rata per indikator
4,30
Sumber : Hasil Olahan, 2007

Tabel 4.7 memperlihatkan bahwa dari 7 item pertanyaan yang diajukan pada indicator informasi, maka skor rata-rata item pertanyaan mengenai mencari informasi untuk perkuliahan memperoleh nilai yang tinggi dibandingkan item pertanyaan lain sebesar 4,63. Sedangkan rata-rata indikator interaksi sosial secara keseluruhan menghasilkan besaran motif sebesar 4,30.

Tabel 1.8
Indikator Hiburan
No
Item Pertanyaan
Rata-rata
1
Mengisi waktu luang
4,20
2
Menghilangkan rasa marah
3,07
3
Keluar dari masalah
2,90
4
Keluar dari kecemasan
2,93
5
Mencari kesenangan
4,10
6
Relaksasi
3,75
7
Mengalami sesuatu yang tidak ada di dunia nyata
3,05
8
Melupakan mengenai perkuliahan
3,27
Rata-rata per indikator
3,41
Sumber : Hasil Olahan, 2007

Tabel 4.8 memperlihatkan bahwa dari indikator hiburan, maka skor rata-rata item pertanyaan yang tinggi dibandingkan lainnya adalah item pertanyaan mengenai mengisi waktu luang yaitu sebesar 4,20. Sedangkan rata-rata indikator hiburan secara keseluruhan menghasilkan motif sebesar 3,41.

Tabel 1.9
Indikator Interaksi Sosial
No

Rata-rata
1
Terhubung dengan orang lain
3,73
2
Bertemu orang baru
3,57
3
Agar orang lain tahu tentang diri saya
3,17
4
Menjadi bagian dari satu kelompok
2,97
5
Berhubungan dengan orang tua
3,05
6
Berhubungan dengan anggota keluarga lainnya
3,50
7
Sesuatu aktivitas dengan teman
3,83
8
Berempati kepada orang lain
3,30
9
Menjalankan peran sosial sebagai mahasiswa
3,37
10
Peduli dengan perasaan orang lain
3,17
11
Mencari dukungan dari orang lain
3,03
Rata-rata per indikator
3,33
Sumber : Hasil Olahan, 2007

Tabel 4.9 memperlihatkan bahwa dari 11 item pertanyaan yang diajukan pada indicator interaksi sosial, maka skor rata-rata item pertanyaan mengenai beraktivitas dengan teman memperoleh nilai yang tinggi dibandingkan item pertanyaan lain sebesar 3,83. Sedangkan rata-rata indikator interaksi sosial secara keseluruhan menghasilkan besaran motif sebesar 3,33.

1.3. Kepuasan individu setelah menggunakan Internet

Tabel 1.10
Indikator Interpersonal Needs
No
Item Pertanyaan
Rata-rata
1
Mendapatkan kredibilitas diri sendiri
3,03
2
Mendapatkan penghargaan dari orang lain
2,88
3
Mendapatkan status
2,87
4
Mendapatkan kepercayaan diri
3,22
Rata-Rata per Indikator
3,78
Sumber : Hasil Olahan, 2007

Tabel 4.10 memperlihatkan bahwa rata-rata pada indikator Kebutuhan Interpersonal dalam menggunakan internet menghasilkan 3,78 dari keseluruhan variable motif penggunaan internet. Sedangkan rata-rata item pertanyaan menghasilkan mengenai mendapatkan kepercayaan diri menghasilkan 3,22.

Tabel 1.11
Indikator Informasi
No
Item Pertanyaan
Rata-rata
1
Mendapatkan informasi yang saya butuhkan
4,35
2
Mendapatkan informasi untuk tugas perkuliahan
4,33
3
Mendapatkan informasi untuk berhubungan dengan orang lain
4,18
4
Mendapatkan berita mengenai peristiwa dalam negeri
4,05
5
mendapatkan informasi untuk penyelesaian masalah
4,10
6
mendapatkan informasi yang tidak tersedia di media lain
3,98
7
Dapat mempelajari untuk melakukan sesuatu
3,92
Rata-rata per indikator
4,13
Sumber : Hasil Olahan, 2007

Tabel 4.11 memperlihatkan bahwa kepuasaan dari indikator hiburan, maka skor rata-rata item pertanyaan yang tinggi dibandingkan lainnya adalah item pertanyaan mengenai mendapatkan informasi yang saya butuhkan yaitu sebesar 4,35. Sedangkan skor rata-rata indikator hiburan secara keseluruhan menghasilkan motif sebesar 4,13.

Tabel 1.12
Indikator Hiburan
No
Item Pertanyaan
Rata-rata
1
Dapat mengisi waktu luang
4,05
2
Dapat menghilangkan rasa marah
3,10
3
Dapat keluar dari masalah
2,83
4
Dapat keluar dari kecemasan
2,93
5
Mendapatkan kesenangan
3,80
6
Mendapatkan relaksasi
3,70
7
Dapat mengalami suatu yang tidak ditemui di dunia nyata
3,15
8
Dapat melupakan mengenai perkuliahan
3,42
Rata-rata per indikator
3,37
Sumber : Hasil Olahan, 2007

Tabel 4.12 memperlihatkan bahwa kepuasaan dari indikator hiburan, maka skor rata-rata item pertanyaan yang tinggi dibandingkan lainnya adalah item pertanyaan mengenai dapat mengisi waktu luang yaitu sebesar 4,05. Sedangkan skor rata-rata indikator hiburan secara keseluruhan menghasilkan motif sebesar 3,37.

Tabel 1.13
Indikator Interaksi Sosial
No
Item Pertanyaan
Rata-rata
1
Dapat merasa terhubung dengan orang lain
3,85
2
Dapat bertemu dengan orang baru
3,83
3
Mendapatkan orang lain tahu tentang diri saya
3,40
4
Dapat merasa menjadi bagian dari satu kelompok
3,15
5
Dapat berhubungan dengan orangtua
3,03
6
Dapat berhubungan dengan anggota keluarga lainnya
3,52
7
Dapat melakukan aktivitas dengan teman
3,73
8
Dapat berempati dengan orang lain
3,37
9
Dapat menjalankan peran sosial sebagai mahasiswa
3,68
10
Dapat memperlihatkan bahwa kita peduli dengan perasaan orang lain
3,27
11
Mendapatkan dukungan dari orang lain
3,22
Rata-rata per indikator
3,46
Sumber : Hasil Olahan, 2007

Tabel 4.13 memperlihatkan bahwa dari 11 item pertanyaan yang diajukan pada indicator interaksi sosial, maka skor rata-rata item pertanyaan mengenai dapat merasa terhubung dengan orang lain memperoleh skor yang tinggi dibandingkan item pertanyaan lain sebesar 3,85. Sedangkan skor rata-rata indikator interaksi sosial secara keseluruhan menghasilkan besaran motif sebesar 3,46.


1.4. Tabel Keseluruhan dari Rata-rata tiap indikator dari variable motif dan kepuasaan
Tabel 1.14
Tabel Skor Rata-Rata Keseluruhan
Indikator
Skor Rata-rata Motif
Skor Rata-rata Kepuasan
Indikasi
Kebutuhan
3,11
3,03
Tidak Terpuaskan
Informasi
4,30
4,13
Tidak Terpuaskan
Hiburan
3,41
3,37
Tidak Terpuaskan
Interaksi Sosial
3,33
3,46
Terpuaskan

Skor Rata-rata seluruh Indikator

3,54

3,50

Tidak Terpuaskan
Sumber : Hasil Olahan, 2007

Tabel skor rata-rata keseluruhan memperlihatkan bahwa kepuasan responden tidak tercapai dengan baik karena skor rata-rata motif sebesar 3,54 sedangkan kepuasaan yang tercapai adalah 3,50. Tetapi dari 4 (empat) indikator yang diuji terdapat 3 (tiga) indikator dimana individu tidak terpuaskan sedangkan 1 (Satu) indikator, yaitu interaksi sosial, maka individu mendapatkan kepuasaan.

2. Pembahasan

Kepuasaan terhadap indikator interaksi sosial dibandingkan 3 indikator lainnya dapat diartikan bahwa kebanyakan responden tidak menggunakan fitur yang memperkuat ketiga indikator tersebut namun responden kebanyakan menggunakan internet untuk chatting, email, dan friendster. Chatting adalah sebuah fitur yang digunakan untuk berinteraksi dengan seseorang lain, baik itu orangtua, teman, atau orang yang tidak dikenalnya, begitu pula dengan friendster biasanya digunakan untuk berhubungan dengan orang lain, terutama untuk pencarian teman, atau menemukan orang baru. Kemudian electronic mail digunakan untuk berinteraksi dengan orang lain, baik itu untuk melakukan aktivitas dengan orang lain atau berempati dengan orang lain dalam bentuk bercerita.
Indikator interaksi sosial yang terpuaskan juga dikarenakan internet sebagai media baru bukan hanya membentuk persepsi yang baru tetapi juga kebutuhan yang baru. Hasil penelitian yang dilakukan oleh McKenna dan Koleganya (2002) menemukan bahwa “people are using the internet to form new relationship with people online in addition to maintaining relationships with their family and friends—people using the internet as as way of maintaining relationships with friends and family whom they know offline” (http://www.udel.edu/communication/web/thesisfiles/janicerecchiutithesis.pdf, 27-09-07). Jadi kebutuhan baru yang didapatkan oleh responden setelah menggunakan internet adalah kepuasan dapat berhubungan dengan orang lain dalam menjaga kekerabatannya dengan teman dan keluarga yang mereka kenal.
Karena kebanyakan responden atau hampir 97 % adalah wanita, maka hasil penelitian memperlihatkan bagaimana internet banyak digunakan sebagai medium untuk saling berhubungan. Kondisi ini terjadi karena wanita selama ini menurut Deborah Tannen (LittleJohn, 2006:473), “ … women seek human connection – a woman’s desire for intimacy”. Sedangkan Kramarae eperti dikutip oleh Griffin 2006:499 mengatakan bahwa, “ the internet holds the possibility of being a user friendly place of connection with other like minded women around the world”. Karenanya keinginan untuk pencarian informasi, internet sebagai suatu kebutuhan, dan sarana hiburan tidak menjadi suatu keinginan yang penting bagi kaum wanita.
Kemudian Jackson,et.al (2008, 4) mengatakan indikasi yang memperkuat mengenai karakteristik wanita kenapa lebih fokus kepada interaksi sosial yaitu, “ women are more interpersonally oriented than are men and that men are more information/task oriented than are women”. Pernyataan ini memperlihatkan bahwa memang wanita selalu dalam kehidupan secara nyata maupun kehidupan melalui medium, seperti internet, masih menekankan mengenai suatu hubungan yang baik atau dalam indikator ini adalah interaksi sosial.
Sedangkan pada indikator seperti pencarian informasi responden tidak terpuaskan karena responden terlihat mendapatkan kelebihan informasi. Kondisi ini diperkuat dengan pernyataan Spurk dalam Dyson & Homolka (1996:66), “ such an increase of potentially relevant information – fuelled by the development and introduction of new media technologies – leads to speculation about the consequences for the individual of having to deal with all this information—that information ‘garbage’ leads to information stress and information strain”. Karena responden yang diambil adalah individu yang mempunyai tugas belajar dengan mencari informasi mengenai tugas belajarnya. Mereka bukan hanya mencari dari mesin pencari (search engine), tetapi juga mencari dari medium lain sebagai tambahan kuliah dan ini diperlihatkan oleh hasil penelitian yang memperlihatkan bahwa ada 36 responden yang juga menggunakan televisi selain internet, sedangkan yang lainnya adalah surat kabar, radio, dan majalah.
Interaktivitas sebagai indikator kekuataan sebuah internet berbeda kepuasannya ketika dihadapkan dengan persoalan gender. Seperti yang dikatakan oleh Rosengren, Wenner, & Palmgreen (1985,250), “ interactivity also provides opportunities for interpersonal-like transactions between individuals or among groups of communicatiors (as ini electronic mail)”.
Hasil penelitian yang menunjukkan bahwa menjaga hubungan lebih memuaskan responden daripada indikator lainnya merupakan hal yang sewajarnya. Selain responden kebanyakan adalah wanita, seperti yang dikatakan oleh Fallows ( 2005, ii),

“online men are more likely to use internet to : check the weather, get news, get do-it-yourself information check for sports information, get political information, get financial information, do job-related research, download software, listen to music, rate a product/person/service through an online reputation system, download music files, use a webcam, and take a class --- sedangkan, “online women are more likely to use the internet to: send and receive email, get maps and directions, look for health and medical information, use web sites to get support for health or personal problems, and get religious information”.

Pernyataan ini menandakan bahwa memang wanita akan lebih tertarik dengan masalah-masalah pribadi dirinya dibandingkan dengan pria yang lebih menyukai hal-hal yang berkaitan dengan status, hiburan, serta pencarian informasi. Karena pria lebih ingin memperlihatkan jati dirinya sebagai pribadi yang berkuasa dan mempunyai kekuataan dibandingkan wanita baik pada kehidupan konvensional tetapi juga pada kehidupan didunia maya.


E. Kesimpulan dan Saran
1. Kesimpulan

Analisa mengenai motif dan kepuasan individu dalam menggunakan internet memperlihatkan bahwa dari ke-4 (empat) indikator dari teori uses and gratifications menunjukkan secara keseluruhan tidak terpuaskan, hanya 1 (satu) indikator yang memperlihatkan responden terpuaskan, yaitu indikator interaksi sosial.
Terpuaskannya indikator interaksi sosial karena kebanyakan responden yang diambil dalam penelitian adalah wanita dan salah satu karakteristik yang timbul dari wanita adalah keinginan untuk menjaga hubungan atau dengan kata lain wanita lebih fokus, menurut Fallows (2005, ii ), pada masalah mengirim dan menerima pesan, menggunakan ”websites” untuk persoalan pribadi.

2. Saran

Dari pembahasan diharapkan adanya penelitian lanjutan yang berusaha untuk melihat motif dan kepuasan individu, terutama dengan responden yang dipilih adalah kebanyakan pria sehingga diketahui dan bisa dijelaskan apakah responden pria memang terpuaskan pada indikator hiburan, pencarian informasi, maupun kebutuhan pribadi.


F. Daftar Pustaka

Dyson, Kenneth & Homolka, Walter. 1996, Culture First ! Promoting Standards in New Media Age, Cassel, English.
Babbie, Earl. 2008. The Basics of Social Research 4th edition. Thomson-Wadsworth, USA
Fallows, Deborah. How Women and Men Use The Internet. Pew Internet & American Life Project. Desember 2005.
Jackson, Linda A., Ervin, Kelly S. Phillip D. Gardner, Neal Schhmitt. Gender and the Internet : Women Communicationg and Men Searching. http://www.questia.com. Dicetak tanggal 8 Januari 2008.
LittleJohn, Stephen W & Karen A.Foss. 2005. Theories of Human Communication. Wadsworth-Thomson, USA
Rosengren, Karl Erik, Lawrence A. Wenner, Philip Palmgreen. 1985. Media Gratifications Research : Current Perspectives. Sage Publications, Inc. California.
Spurk- Winterhoff Peter dalam Kenneth Dyson & Walter Homolka. 1996. Culture First ! Promoting Standards in the New Media Age. Cassel Wellington House, New York
West, Richard., Turner, Lynn H. 2006. Introducing Communication Theory : Analysis and Application, 3rd edition. McGraw Hill International Edition, New York
Windahl, Sven, Benno Signitzer & Jean T. Olson. 1992. Using Communication Theory : An Introduction to Planned Communication. Sage Publications. London
http://faculty.colostate-pueblo.edu/samuel.ebersole/diss/iclt.pdf
http://www.udel.edu/communication/web/thesisfiles/janicerecchiutithesis.pdf
http://www.jiad.org/vol2/no2/luo/
http://www.detikinet.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/12/tgl/16/time/155524/idnews/720923/idkanal/328

[1] Suatu gambaran grafis yang dinyatakan oleh Wilbur Schramm mengenai bagaimana individu-individu menggunakan media dan pilihan isi media berdasarkan harapan untuk mendapatkan kepuasan dan dari usaha yang dilakukannya (Baran & Davis, 2003, 257).
THE ROLE OF PUBLIC RELATIONS
IN THE ERA OF INFORMATION
By. Benedictus Arnold S.

Abstract :
Al Ries books, The Fall of Advertising and the Rise of Public Relations, convinced us that there is a change condition of Communication Industry and also in the political and social environment. The information era become one of the biggest way for all the works become no-boundaries. Public Relations in information era, is the era of internet, that information not only two way communication but it become an interactive information. Before the era of internet, Public Relations role not only serve people or organization but also politics organizations, state, or individual. But the emerging of internet make Public Relations have one point added, such as serve people and so on more fast. It happen because Public Relations can be using new technology, such as teleconference, video interactive, or face-to-face using computer or PC as a medium.

Key Words : Communication Industry, Internet, Public Relations, two way communication, interactive communication, face-to-face communication, teleconference, video interactive.



Pendahuluan

Globalisasi telah menjadi sebuah gejala awal berubahnya lingkungan kompetisi pada industri-industri yang menawarkan produk jasa sebagai produk unggulannya. Ini dapat terlihat dari munculnya internet sebagai sarana komunikasi yang baru dimana manusia tidak lagi berkomunikasi melalui tahapan tatap muka serta harus menggunakan tempat (place) sebagai sarana pertemuan atau komunikasi. Adanya internet telah membentuk komunikasi antar manusia menjadi bersifat tanpa batas atau dengan kata lain nirspace dan tidak dibatasi lagi oleh waktu.
Perkembangan internet yang telah melewati batas waktu dan ruang dapat ditemui pada perkembangan “internet teleconference”. Ini dimungkingkan karena sifat dari internet sendiri sebagai intrumen atau alat komunikasi yang sifatnya adalah interaktif. Bandingkan dengan radio, sifatnya memang interaktif, tetapi manusia atau individu yang ingin menanyakan tentang sesuatu tidak akan dapat langsung memperoleh jawabannya ; juga begitu dengan televisi, walaupun televisi sudah dapat menyiarkan secara langsung dan interaktif (sifatnya hanya terhadap seuatu peristiwa yang diliput).
Perkembangan internet juga merubah kondisi pelayanan yang berbasis sector jasa, seperti pendidikan, transportasi, serta juga pada bidang periklanan dan public relations. Pada bidang periklanan perubahan bisa terlihat bahwa iklan yang sebelumnya hanya diperuntukkan bagi iklan yang berbasis geografis (hanya tergantung letak iklan dibuat) dan jangkauan terbatas pada pemirsa di wilayah atau areal geografis tertentu ; sekarang dengan adanya perkembangan teknologi informasi telah melampaui batas wilayah atau geografis.

Public Relations
Public Relations secara mudahnya dapat dikatakan sebagai hubungan-hubungan yang terbentuk antara institusi dengan publiknya. Sedangkan menurut The Institute Public Relations (IPR) pada tahun 1987 mengatakan bahwa Public Relations adalah sebuah konsep mengenai “manajemen reputasi” (Harrison, 2000:2). Menurut IPR tujuan akhir dari sebuah Public Relations adalah memperoleh pemahaman (understanding) dan dukunga, serta mempengaruhi opini dan perilaku lainnya.
Sedangkan, menurut White, 1991:3, pada buku Harrison mengatakan bahwa :
Public Relations is an organization’s efforts to win the co-operation of groups of people.
Public Relations helps organizations effectively interact and communicate with their key publics.

Dua definisi di atas ini memperlihatkan bahwa Public Relations sebagai sebuah sarana bagi sebuah organisasi untuk menjalin kerja sama dengan kelompok-kelompok orang serta membantu organisasi berinteraksi secara efektif dan tepat sasaran karena berbicara langsung dengan pemimpin public (key publics).
Secara sederhana peranan yang ada pada seorang atau lembaga Public Relations adalah berada di tengah-tengah antara kliennya/pekerja dengan publicnya (Lesly, 1993 : 3). Lesly : 1993, juga mengatakan bahwa seorang Public Relations harus menyesuaikan diri untuk berpikir (thinking) dan memenuhi kebutuhan (needs) organisasi yang mereka layani atau mereka tidak akan berhasil melayani secara lebih baik. Hal lainnya yang harus diperhatikan mengenai peranan Public Relations adalah menyesuaikan diri dengan kedinamisan dan kebutuhan publik (masyarakat) sehingga seorang Public Relations mampu untuk menginterpretasikan keinginan dan kebutuhan publik atau organisasi kepada kliennya, sebaiknya ia menginterpretasikan keinginan dan kebutuhan klien kepada publiknya.
Tugas lainnya yang bisa dilihat dari seorang Public Relations adalah membantu aktivitas sebuah organisasi atau institusi untuk sadar terhadap lingkungan sosialnya kemudian membantu individu ataupun organisasi untuk mendapatkan informasi setiap aspek dari kehidupan sehari-hari yang akan mempengaruhi kehidupannya (Lesly : 3).
Pengertian lainnya mengenai Public Relations adalah “ … the management function which evaluates public relations, identifies the policies and procedures of an individual or an organization with the public interest, and plans and executes a programme of action to earn public understanding and acceptance “ (Jethwaney, et.al., 1994 : 3).
Sedangkan Cutlip, Center, and Broom, 2000 mengatakan bahwa ruang lingkup peran seorang Public Relations adalah :
Perencana dan pembuat program yang berkelanjutan yang dihubungkan melalui manajemen organisasi
Mempunyai kesepakatan mengenai hubungan antara organisasi dengan konstituennya
Melakukan pengawasan terhadap kesadaran (awareness), pendapat (opinion), sikap (attitudes), perilaku (behavior) dalam dan di luar organisasi
Menganalisis dampak (impact) dari kebijakan, prosedur, dan tindakan yang dikeluarkan organisasi terhadap berbagai macam publik
Menyesuaikan kebijakan-kebijakan, prosedur, dan tindakan yang ditemukan yang berkaitan dengan kepentingan publik dan kelangsungan organisasi
Memberikan konsultasi (arahan) terhadap manajemen organisasi dalam menentukan kebijkan, prosedur, dan tindakan organisasi yang dapat mendatangkan keuntungan terhadap publik dan organisasi itu sendiri
Menetapkan dan mempertahankan bentuk komunikasi dua arah (two way communication) antara organisasi dengan berbagai bentuk masyarakat (public).
Menghasilkan perubahan pada kepedulian, pendapat, sikap, dan perilaku di dalam atau di luar organisasi
Menghasilkan sesuatu yang baru dan atau mempertahankan hubungan antara organisasi dan publiknya.

Semua pengertian diatas akhirnya merujuk kepada satu tujuan dari Public Relations, yaitu mengembangkan pengertian bersama antara perusahaan atau personal dengan publiknya. Saluran yang dipergunakan untuk mengembangkan pengertian bersama tersebut dilakukan dengan menggunakan saluran teleconference dan press release.


Model-model Komunikasi Public Relations

James E Grunig, seorang ahli mengenai Public Relations, menyatakan beberapa model komunikasi untuk menganalisis mengenai fungsi Public Relations secara komprehensif :
Model Name
Type of Communication
Model Characteristic
Press agentry/publicity model
One-way communication
Uses persuasion and manipulation ti influence audience to behave as the organization desires
Public Information Model
One-way communication
Uses press releases and other one-way communication techniques to distribute organizational information. Public Relations practitioners often referred to as the “journalist in residence.
Two-way asynnetrical model
Two-way communication
Uses persuasion and manipulation to influence audience to behave as the organization desires. Does not use research to find out how it public feel about the organization
Two-way symmetrical communication
Two-way communication
Uses communication to negotiate with publics, resolve conflict, and promote mutual understanding and respect between the organization and its public (s).
Sumber : www.rav.com

Keempat model diatas sangat jelas memperlihatlkan bahwa arah komunikasi Public Relations adalah masih komunikasi satu atau dua arah ; belum menuju komunikasi yang interaktif. Gambar dari mode one-way communication dan two-way communication dapat digambarkan seperti ini :
Gb.1.1. One-way communication Gb.1.2. Two-way Communication
Mass Media Mass Media





= isolated individuals = opinion leader
constituting a mass = individuals is social contact
with an opinion leader
Source : Mcquail & Windahl, 1993 :62

Interaktif dapat didefinisikan sebagai “ …interactivity is used as a synonym for “two way”, but few of the systems developed to date truly two way in the same sense that a conversation, that two people not only take turns responding to each other but also modify their interaction on the basis of preceding exchanges …” (Straubhaar, 2000 : 19).
Jadi sifat interaktifnya tidak hanya seperti komunikasi dua arah tetapi juga ditambah dengan interaksi berdasarkan pengalaman atau pembicaraan sebelumnya. Dikatakan seperti ini karena sistem dari interaktivitas ini lebih banyak terfokus kepada kepentingan dan kebutuhan khalayak, contohnya : ketika kita membaca surat kabar secara on-line, sifat interaktivitasnya adalah ketika mencari berita mengenai kepentingan kita, maka sistem akan langsung memberikan reaksi terhadap pertanyaan kita (tidak ada face-to-face communication) ; atau ketika kita berbicara dengan orang lain lewat email, maka sifat interaktivitasnya ditunjukkan oleh balasan yang langsung dan ketika balasan itu terjadi kita masih bisa melihat penulisan sebelumnya. Jadi, perbedaan yang paling mendasar adalah dari kecepatan (speed) dari penerimaan dan pengiriman beritanya atau informasi serta jangkauan penerimaan informasinya.

Perbandingan Model Komunikasi Grunigs dengan Model Interaktif

Dari model Grunigs tentang arah komunikasi yang dilakukan, maka disini sangat terlihat keterlibatan media massa sangat besar dan menonjol. Kalau para pakar komunikasi mengatakan ini serupa dengan teori “Jarum Suntik (Hypodermic Theory)” yang menyatakan bahwa media massa langsung mentransfer informasi kepada audiencenya.
Grunig’s membagi arah komunikasi satu arah (one-way communication) menjadi 3 (tiga) arah besar. Model Publisitas melalui Media yang dikarakteristikan oleh penggunaan persuasi dan manipulasi untuk mempengaruhi khalayak untuk berperilaku menuruti keinginan organisasi. Ini sangat sesuai secara teoritis dengan gambar komunikasi satu arah (one way communication), dimana media mempunyai kekuasaan yang sangat besar untuk mempengaruhi perilaku seseorang. Ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Croteau, 1997:206, bahwa “… media effects suggested a direct and powerful influence on the public”.
Namun hal lain yang perlu kita analisis bahwa kekuatan sebuah media tidak langsung memberikan dampak kepada khalayaknya. Lazarfeld, Berelson, and Gaudet (1948), dalam buku Croteau : 208, mereka mengeluarkan sebuah model efek media, yaitu : minimal effect model. Model ini menyatakan bahwa pesan media memberikan efek memperkuat keyakinan yang sudah ada daripada untuk merubah opini. Mereka menyatakan bahwa karakteristik social dan kepercayaan (religion) adalah suatu factor penting daripada untuk menjelaskan mengenai perilaku khalayak. Model ini lebih banyak dipergunakan pada kondisi politik terutama ketika terjadi pemungutan suara (get a voter).
Kalau melalui media massa, untuk komunikasi satu arah, terdapat juga factor yang harus diperhatikan, maka media dipergunakan secara minimal (dalam arti sangat tersegmen, padahal daya jangkau media tidak hanya mempersoalkan masalah segmen tapi lebih kepada ekstensialis).
Ketika Public Relations pada era informasi atau menggunakan internet untuk mengembangkan dan meningkatkan citra atau pengertian bersama dengan publiknya, maka yang ditekankan bukan lagi menggunakan saluran teleconference dan press release namun sudah harus memfokuskan pada penggunaan publisitas (publicity). Publisitas ini akan lebih difokuskan kepada publik dari terpaan yang akan diinformasikan.
Publik yang dikenakan pada Public Relations adalah publik internal dan publik eksternal. Publik Internal adalah publik yang berada dalam perusahaan atau organisasi ; sedangkan publik eksternal adalah mereka yang berkepentingan terhadap perusahaan dan berada di luar perusahaan, seperti penyalur, pemasok, dan lainnya (Kasali, 1994:11). Kemudian, Kasali : 11, juga menambahkan bahwa publik juga dapat terdiri dari Publik primer, sekunder, tertier, tradisional vs masa depan, proponents, opponents, dan uncommitted serta silent majority dan vocal minority.
Jadi, penggunaan internet dalam hubungannya dengan media akan mempengaruhi juga seorang jurnalis dalam memperoleh berita yang tadinya harus mengeluarkan biaya, baik itu biaya kedatangan ke tempat puhblikasi serta biya waktu menunggu sekarang langsung ke tempat ia bekerja. Kondisi ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Shelton (2000), pada Theaker : 126, bahwa “the internet can also make an organization more porous, and the information can flood out …. An employee or anyone else with a grudge can easily make information available to a wide audience”.


Peran Public Relations merupakan seni industri Jasa

Tugas seorang Public Relations adalah sebuah tugas yang menuntut pelayanan yang maksimal, dimana ia harus membuat pengertian bersama antara organisasi yang dilayaninya dengan publiknya (lih, tujuan dari Public Relations). Contohnya : Public Relations Presiden Abdurahman Wahid adalah juru bicaranya yang dipimpin oleh Wimar Witoelar. Mereka memperlihatkan suatu seni untuk berdialog dengan media ketika memberikan jawaban terhadap kegiatan atau tindakan presiden ; ini dalam Public Relations dikenal sebagai tugas “hubungan dengan media (media relations)”.
Grunig and Hunt, 1984:33, mengatakan mengenai media relations :
“ our plant, frankly and openly, on behalf of the business concerns and public institutions, to supply to the press and public of the United States Prompt and accurate information concerning subjects which it is of value and interest to the public to know about …”

Jadi tugas kontribusi yang bisa diberikan oleh sebuah hubungan dengan media adalah peningkatan citra perusahaan ataupun produk, meningkatkan market share, mempengaruhi kebijakan Pemerintah berskala lokal, nasional maupun internasional serta lainnya (Theaker, 201:122).
Kontribusi lainnya adalah terbinanya hubungan dengan komunitas (community relations), seperti tugas open house, penghargaaan untuk karya-karya tertentu, beasiswa ; hubungan dengan karyawan atau calon karyawan, seperti orientasi karyawan baru, media intern ; hubungan dengan konsumen, seperti sponsorship, direct mail, acara khusus untuk konsumen ; hubungan dengan Pemimpin opini, seperti beasiswa kepada calon pemimpin opini, sponsor riset ; memulihkan krisis, meningkatkan identitas korporat, dan lainnya (Kasali : 105).
Penciptaan lainnya yang perlu dilakukan oleh seorang Public Relations adalah penciptaan Corporate Social Responsibility (Tanggung jawab social Perusahaan). Ini dapat terwujud dalam bentuk pembinaan masyarakat terhadap kelangsungan hidupnya, seperti pembuangan Limbah, pemberian beasiswa, dan lainnya.
2 (dua) term diatas memperlihatkan bahwa Program Community Relations dapat dilaksanakan melalui 3 (tiga) hal : (Manajemen, No.172, 2002 : 33).
1. Membangun sumber daya masyarakat, termasuk didalamnya adalah aspek pendidikan
2. membangun kesejahteraan mereka dalam hal ini dengan memberikan lapangan pekerjaan atau memberikan peluang usaha bagi mereka
3. memperbaiki lingkungan terutama yang berkaitan dengan aspek kesehatan masyarakat.

Peran Public Relations dalam era Internet

Al Ries, The Fall of Advertising and the Rise of PR : xii), mengatakan bahwa Public Relations is in the driver’s seat and should lead and direct a marketing program. Dari pernyataan ini jelas terlihat bahwa Al Ries percaya dan yakin PR memegang peranan yang lebih penting pada sector pemasaran untuk meningkatkan brand awareness, sales, serta brand image suatu produk perusahaan atau pribadi.
Namun keberhasilan manusia untuk mengembangkan sebuah teknologi yang menghilangkan batas negara, bahasa, dan bangsa telah membuat definisi dari suatu peran PR akan berubah. Sebelumnya peran PR hanya terbatas pada peningkatan pada jangkauan wilayahnya, sekarang informasi yang sedikit bisa diketahui oleh banyak orang. Pernyataan dari Frank Popoff, Presiden of Dow Chemical Company, pada acara Kelulusan di Alma College, tahun 1999 (Caywood, 1997:27) :
“ twenty years ago people talked in terms of air travel shrinking space and time, making it possible to move among nations and continents in hours instead of days. Today, with the advent of telecommunications, business people in Japan, Europe, and midland, Michigan, can meet simultaneously without leaving their offices”.
“ ..once people talk about industrialization, about nations developing the machinery and the skills manufacture and distribute products on a large scale at affordable cost. Now we talk about globalization, about the world as a global community where nations and people can share one economy, one environment, one technology, and, at least in commerce, one language”.

Pernyataan diatas seakan menggugah kita, apalagi Indonesia, yang menghadapi tidak hanya globalisasi namun juga otonomi daerah untuk lebih meningkatkan peran Public Relations dalam membina hubungan tidak hanya kepada stakeholders, juga kepada shareholdernya.


Kesimpulan

Public Relations yang jangkauan terbatas pada wilayah geografis tempat ia berada, sekarang seharusnya sudah membuat sebuah perencanaan untuk membuat basis terfokus kepada globalisasi. Perkembangan teknologi, khususnya telekomunikasi, membuat peran PR tidak lagi terbatas daya jangkaunya.
Peran seorang PR, menurut Grunig dan Hunt’s model, digambarkan sebagai berikut :
Craft Public Relations
Propaganda Journalism

Press agents model Public information model

Professional Public Relations
Asymmetrical Symmetrical

Two Way Two way
asymmetrical Model Symmetrical Model
Oleh karena itu tugas seorang PR dalam era informasi tidak hanya terbatas untuk memberikan informasi yang dipercaya oleh publiknya atau bisa dikatakan beralih dari sekedar hanya menumbuhkan citra perusahaan atau produk tetapi menjadi “corporate communication” dengan tuntutan untuk “good corporate governance”. Bentuk terakhir ini semakin membuat posisi seorang PR menjadi lebih terpercaya karena mereka diharuskan untuk membuat segala sesuatu menjadi transparansi, akuntabel dan menjangkau seluas-luasnya.


Daftar Pustaka

Caywood, Clarke L. 1997. The Handbook of strategic Public Relations & integrated Communications. McGraw Hill, New York, USA.

Croteau, Davids., Hayes, William. 1997. Media/Society : Industries, Images, and audiences. Pine Forge Press, California, USA.

Grunig. J and Grunig. L. 1992. Models of Public Relations and communication. Lawrence Erlbaum Inc.

Harrison, Ahirley. 2000. Public Relations : An Introduction, 2nd edition, Thomas Learning, United Kingdom.

Jethwaney, Jaishri N, et.al., 1994. Public Relations : Concepts, Strategies, and Tools. SS Mubaruk & Brothers PTE, Ltd, Singapore.

Kasali, Rhenald. 1994. Manajemen Public Relations : Konsep dan Aplikasinya di Indonesia, Pustaka Utama Grafiti.

Lesly, Philip. 1993. Everything you wanted to know about Public Relations, revised edition. Probus Publishing Company, Singapura.

Ries, Al & Ries, Laura. 2002. The Fall of Advertising and The Rise of PR. Harper Collins Publishers, Inc. New York.
Persaingan Media :
Eksistensi Media Online berbasis Berita di Indonesia

Abstract :
The emerging of News Portal in Indonesia has been occurred when the Government take the media with their own rule (Breidel). In that moment the people, especially students, use that moment as a part of Indonesian Political rule changed. News Portal in this situasion would be make as a tool for sharing informartion without any restriction from the governtment, and it would be pionereed by suratkabar.com or apakabar.com.
After that situation, News Portal will be as one of the industrial competition media. In this paper, we could see that there is an opportunity for the people or enterpreuner who wants to make a new news portal for adding the competition. The structure for news portal competition would be form as Monopolistic Competition, using the analysis of market share, market concentration (HHI) also using the model of Industrial Competition (Structure – Conduct – Performance), where as no one of the news portal organization take the domination. Because of this structure, the organization of news portal will be making some differences, avoid the “one click away” basic principal, and that can be their strength.

(13 pages + 9 books (1996-2001) + 1 thesis)




I. Pendahuluan :

Salah satu kekuatan media untuk menjamin eksistensinya adalah usaha untuk menggabungkan hubungan antara media, masyarakat, dan negara. Ini seringkali difokuskan kepada kekuatan ekonomi politik dimana dominasi negara sebagai alat pemerintahan, pada negara sedang berkembang (developed country), sangat besar dan kuat, berbeda dengan negara maju (developed country) yang memperlihatkan sebuah perilaku bermedia yang liberal, dimana kontrol bukan dilakukan oleh negara melainkan oleh masyarakat atau audience atau khalayaknya (Free Press).
Kehidupan bermedia pada negara sudah berkembang sudah terfokus kepada sisi ekonomi atau biasa dikenal sebagai sistem ekonomi pasar dimana kekuatan pasar yang menentukan eksistensi media. Media berhasil ketika mengeluarkan pemberitaan yang sesuai dengan kehendak pembacanya, disini terlihat bahwa kepentingan khalayak menjadi kepentingan organisasi media, sedangkan kalau terjadi sebuah pemberitaan yang tidak sesuai dengan kepentingan khalayak, maka pendapatan yang didapat oleh organisasi media, seperti dari iklan, akan berkurang.
Alinea di atas memperlihatkan indikasi dari karakteristik eksistensi organisasi media, pada media tradisional, seperti Televisi, radio, dan surat kabar, maka yang harus terus ada adalah program acara yang sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan khalayak. Kondisi ini sangat berbeda dengan “new media” atau media baru dalam hal ini internet, maka pada media ini yang lebih dipentingkan adalah divergensi dari penayangan fenomena. Pada media internet, eksistensinya dipengaruhi oleh loyalitas pengguna internet (users) dan pemakainya (subcriber).

II. Internet sebagai Media Baru

Secara etimologis “internet” dapat disinonimkan dengan konsep “Information Superhighway” atau dapat dikatakan sebagai jaringan ke jaringan (Network of networks) ; dimana dari satu komputer dapat tersambung dengan komputer lainnya di seluruh dunia, seperti bertukar pesan, berbicara, membagi akses data dan aktivitas lainnya, dengan menggunakan alat modem dan saluran telepon (Straubhaar, 2000 : 5).
Hubungan dengan individu atau kelompok lain di seluruh dunia menggunakan salah satu komponen internet, yaitu World Wide Web (WWW). Di dalam WWW ini juga termasuk sambungan yang dapat digunakan pengguna untuk melakukan navigasi dengan bentuk grafik, audio, dan informasi secara video (tatap muka). Inilah yang disebut sebagai “konvergensi” media, dengan kata konvergensi dapat didefinisikan sebagai penyatuan (integrasi) dari media massa (media tradisional), komputer, dan telekomunikasi menjadi sebuah teknologi umum yang bersistem. Salah satu contoh yang bisa gambarkan mengenai konvergensi media adalah digital televisi – penyatuan antara media televisi dengan internet; atau penulisan berita di internet (on-line news), dan lainnya.
Munculnya internet sebagai media baru telah merubah setiap sendi kehidupan masyarakat suatu negara. Ketika pertama kali manusia mengenal medium adalah melalui suara, alat tulis, kertas, radio, televisi, kemudian internet ; perubahan terjadi. Secara psikologis perubahan dari media tradisional ke media internet merubahan hidup dan aktivitas manusia dari individu yang berkelompok menjadi individu penyendiri.[1] Perubahan lainnya juga terjadi pada gaya hidup khalayaknya dengan munculnya internet adalah pola yang cenderung mengurangi tontonan TV dibandingkan sebelumnya (Miller & Clemente, 1997).
Fenomena internet merupakan sebuah perkembangan media paling pesat sekarang ini. Hampir di semua kehidupan dan aktivitas manusia penggunaan internet terus bertumbuh. Menurut Morgan Stanley Research, penetrasi pengguna internet di seluruh dunia tumbuh sangat cepat dibandingkan dengan khalayak yang menonton Televisi ataupun Radio. Dalam waktu 5 (lima) tahun pengguna internet mencapai 50 juta orang, sementara Radio membutuhkan waktu 38 tahun dan televisi 13 tahun untuk mencapai tingkat tersebut (Fritz dalam Yuliar, 2001:25).
Indikasi lainnya perkembangan internet yang sangat maju adalah dalam dunia usaha dimana jangkauan pasar dari internet sangat luas, efisiensi, dan meningkatnya daya saing perusahaan, inovasi dalam hal ini usaha untuk mengikat pemakai (subscriber) melalui usaha loyalitas atau biasa disebut sebagai “Customer Loyalty”. Pada internet, bila dikaitkan dengan dunia usaha, maka terbentuk beberapa transaksi perdagangan, yaitu Business to Consumer (B2C) serta Business to Business (B2B), Consumer to Consumer (C2C). Menurut perkiraan hingga tahun 2003 ini nilai transaksi perdagangan bisnis ke konsumen (B2C) akan mencapai angka 300 milliar dollar, sedangkan perkiraan untuk transaksi perdagangan bisnis ke bisnis akan mencapai 1,3 trilliun dollar (Fritz dalam Yuliar : 26).
Meningkatnya pengguna internet serta transaksi bisni di dunia tidak terlepas dari meningkatnya jumlah pengguna telepon. Menurut data dari ITU (International Telephone Union), pada tahun 1998, jumlah pengguna telepon di dunia mencapai 750 juta dengan perincian 110 juta terhubung dengan internet dan 150 juta paling tidak menggunakan telepon genggam. Kemudian pada tahun 2001, jumlah pengguna telepon yang terhubung dengan internet meningkat mencapai 300 juta, dan diperkirakan pada tahun 2005 pengguna internet mencapai 1 milyar pengguna (Fritz : 26). Ini sangat jauh dengan pengguna internet di Indonesia hanya sekitar 2 juta pengguna (1 % dari total populasi 200 juta) pada tahun 2000 (Pacific Rekan Prima, 2001 : x) ; dengan pengguna sambungan telepon hanya 7,583,348 sambungan telepon (dari 200 juta) dari kapasitas yang bisa tersambung sebesar 8,462,371 sambungan telepon dimana sekitar 6,207,847 sambungan telepon berada di Jakarta (327,932 telepon umum) (Data TELKOM 2nd Quarter 2000, Pacific : 25).
Data diatas menunjukkan pada tahun 1998 dari 750 juta pengguna telepon hanya 1/6 – nya saja yang menggunakan internet, di seluruh duni sedang di Indonesia hanya sekitar 1 %, memperlihatkan bahwa masih ada “celung” atau “segmen” yang bisa dibidik oleh organisasi media untuk mengambil pengguna pada sektor ini. Dengan pengguna yang sangat besar, maka organisasi media online berbasis berita bisa, bisa menstimuli pengiklan untuk memasuki area media mereka, namun yang harus disadari bahwa terdapat perbedaan prinsipal antara media online dengan media konvensional.
Perbedaan yang bisa ditunjukkan dari kedua media ini, online dan konvensional, adalah kemurahan dalam menerima informasi. Pada media online secara kasar, biaya yang sangat mahal, ditunjukkan dengan biaya penggunaan telepon, serta biaya “koneksi” melalui “Connector” (provider) walau untuk sekarang ini makin berkembang peminimalan penggunaan provider, seperti yang dilakukan oleh TELKOMNETINSTANT (penggabungan antara penggunaan biaya telepon dengan biaya provider).
Pada media konvensional, maka titik pembiayaan yang dikenakan sangat minimal. Media ini tidak memerlukan biaya terlalu besar, bagi konsumennya, untuk membayar sebuah informasi. Harga, misalnya surat kabar, sudah disesuaikan dengan biaya operasional (variable cost) dan keuntungan yang didapat dari jumlah eksemplar yang dicetak. Contoh lainnya, televisi, khalayak atau penonton, juga hanya disuguhi oleh tontonan di layar kaca yang sudah dimilikinya tanpa adanya pembayaran kepada stasiun Televisi tersebut. Namun keuntungan yang diperoleh oleh stasiun Televisi tersebut di dapat dari Iklan karena akumulasi jumlah penonton yang menonton sebuah tayangan yang ditunjukkan oleh ratingnya.
Kelebihan yang dimiliki oleh media online adalah kecepatan berita yang bisa diakses tiap detiknya, bandingkan dengan surat kabar yang bisa didapat informasinya dalam sehari, atau Televisi yang tidak memungkinkan untuk menayangkan berita secara cepat karena keterbatasan dari penyisipan informasi terhadap program acara yang sudah diplot sebelumnya. Namun yang menjadi kelemahan dari media online dibandingkan dengan media konvensional adalah kekuatan dalam meraih pendapatan keuangan dari sektor iklan.
Media konvensional “ditengarai” mempunyai kekuatan dalam meraih jumlah pendapatan iklan yang besar karena efesiensi dan efektivitas dalam meraih jangkauan khalayak yang lebih besar. Kondisi ini disebabkan oleh khalayak yang lebih mudah untuk memperoleh informasi dari media konvensional dibandingkan media online. Misalnya, di daerah pedalaman yang secara umum belum terjangkau jaringan telepon dan minimal sekali, bahkan tidak ada, kepemilikan komputer, bila dibandingkan dengan kepemilikan pesawat Televisi, radio, dan surat kabar, maka terjadi tingkat kesenjangan yang sangat besar. Namun bukan tidak mungkin media online akan menguasai di masa depan dengan prediksi penggunannya yang semakin besar atau 1 milyar pengguna pada tahun 2005.

Media Online sebagai sebuah Industri

Secara etimologis yang disebut sebagai media online adalah penggunaan internet yang menampilkan informasi, baik itu berupa berita, jasa keuangan, jasa pertukaran barang, jasa ramalan cuaca, atau lainnya secara online. Sifat dari media ini adalah interaktif dimana terjadi penggabungan antara media konvensional, baik itu berupa pemberitaan seperti di surat kabar, tayangan visual dan audio seperti pada televisi dan radio, serta teleconference seperti pada media telekomunikasi (Telematika). Kondisi penggabungan ini yang biasa dikenal sebagai “konvergensi” media.
Keberadaan media online ini telah diprediksi akan membuat masyarakat menuju sebuah masyarakat informasi (Information Society) yaitu masyarakat yang memproduksi, memproses, dan mendistribusikan informasi sebagai sebuah sektor industri secara ekonomi dan social (Straubhaar, 2000:27). Indikasi sebagai masyarakat informasi adalah penggunaan waktu difokuskan kepada penggunaan media komunikasi serta teknologi informasi, seperti telepon dan komputer. Kondisi sangat sesuai dengan perkembangan dari tingkat ekonomi sebuah masyarakat, mulai dari masyarakat pertanian (agrikultur), masyarakat industri, kemudian sekarang mencapai masyarakat informasi.
Tahap mencapai masyarakat informasi akan ditandai dengan meningkatnya jumlah organisasi media, pengguna komunikasi media serta meningkatnya jumlah pengeluaran yang dikeluarkan oleh sebuah perusahaan untuk memasarkan perusahaannya melalui sebuah media. Ini biasa disebut sebagai interaksi antara media, masyarakat, dan iklan (perusahaan ataupun negara). Kondisi ini dapat digambarkan seperti dibawah ini :

Ekonomi

Politik



Teknologi
Organisasi Media
Gb. 1. Area Of Media Influences.

Pada gambar diatas sangat jelas terlihat bahwa media tidak terlepas dari sistem negara tempat organisasi media itu berada. Organisasi tidak terlepas dari semua faktor lingkungan eksternal, baik itu berupa sisi ekonomi, seperti pesaing, tingkat valuasi nilai mata uang, iklan, atau perkembangan teknologi, seperti telepon nirkabel, handphone dan juga pada sektor politik atau sistem pemerintahan yang sedang berkuasa.

Sisi Politik dari Organisasi Media online di Indonesia

Media online pertama di Indonesia muncul sebagai media alternatif perjuangan mahasiswa pada jaman Soeharto untuk merencanakan gerakan dan mengukur dukungan internasional dalam membangun demonstrasi yang besar dengan tujuan akhir menjatuhkan rezim Soeharto (Sen & Hill, 2000 : 227).
Penggunaan internet sebagai media perjuangan terjadi karena banyaknya pembreidelan dari media konvensional terhadap setiap informasi yang berlawanan dengan kepentingan Pemerintah berkuasa, seperti pembreidelan Tempo, Detak, dan lainnya. Kondisi kedua yang diperoleh dari pemberitaan melalui media online adalah informasi yang diberitakan tidak lagi butuh sensor dari Pemerintah karena sifatnya yang individual.
Media Online pertama yang muncul di Indonesia adalah apakabar.com yang di moderatori oleh John Mcdougall dari Maryland, Amerika Serikat dimana media ini difungsikan sebagai milis (diskusi lewat email) ; kemudian muncul media online pertama berbasis berita, yaitu detik.com, Tempo interaktif, Kompas Cyber Media, dan lainnya.

Teknologi dan Ekonomi Media Online

Evan I Schwartz, mengatakan bahwa pada sebuah Web (Jaringan), jumlah informasi yang disediakan untuk pengakses akan lebih banyak, maka pengakses harus memberikan lebih dan sebagai kebalikannya pengakses akan mendapatkan lebih (Webonomics, 1997 : 75). Pernyataan ini sesuai dengan jumlah pengakses yang bisa dilihat pada portal Detikcom dimana jumlah pengakses pada awal berdirinya adalah 363.000 pageviews per hari, kemudian bertambah menjadi 735.000 pageviews[2] per hari pada tahun 2000.
Pertambahan jumlah pengakses ini diharapkan dapat meningkatkan tawaran tingkat pengiklan. Pertambahan ini juga memperlihatkan bahwa sebuah situs disenangi, sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan pengakses karena kinerja organisasi media online yang baik atau memberikan informasi yang lebih kepada pengakses sehingga pengakses menjadi loyal terhadap organisasi tersebut.
Loyalitas pengakses dapat dikatakan sebagai asset sebuah organisasi media, karena dengan loyalitas tersebut diketahui bahwa pengakses akan tetap melihat situs tersebut. Kondisi ini akan juga mempengaruhi struktur persaingan media online berbasis berita (portal berita) karena pengiklan untuk media online ini untuk saat ini tidak melihat dari profil pengaksesnya yang tersegmen namun lebih melihat berapa besar jangkauan yang bisa pengiklan peroleh untuk mengiklankan produknya.
Perbandingan yang bisa kita perlihatkan pada struktur persaingan bahwa sifat media off line (konvensional) lebih mahal biaya yang dikeluarkan sehingga pesaing yang masuk pada industri ini akan sangat sedikit. Sedangkan pada media online, berbiaya murah dan bisa dilakukan di segala tempat, maka pesaing yang bisa memasuki industri ini akan sangat banyak sehingga akan memungkinkan struktur pasar menuju ke arah persaingan atau seperti yang dikatakan oleh Rhenald Khasali, PC Media : 2000, bahwa model industri media online berkarakteristik Business to Consumer (B2C) adalah model yang mudah ditiru.
Kondisi ini digambarkan dengan sangat baik oleh Mary Modahl dalam bukunya Now or Never, 2000 : 102, bahwa perusahaan kecil berusaha masuk ke arah persaingan perusahaan yang lebih besar dan perusahaan besar akan kehilangan pangsa pasarnya. Kondisi ini memperlihatkan bahwa persaingan pada industri media online sangat ketat.
Sedangkan model pendapatan portal berita itu sendiri merupakan interaksi dari akses, transaksi, iklan, langganan atau kombinasi dari keempatnya. Model pendapatan portal berita itu dapat dijelaskan dari model Booz & Allen Hamilton.Inc, 2000. Pada model dibawah dapat dijelaskan bahwa perusahaan portal berita sangat tergantung dari content/isi berita atau kualitas informasi yang ditayangkan. Dengan berita yang berkualitas atau sesuai dengan kepentingan, kebutuhan serta “proximitas” dengan pengaksesnya dapat diharapkan terbentuk loyalitas pengakses.

Gambar 2. Model Pendapatan Portal Berita
Organisasi Portal BeritaIsi Berita
Subcriber
Non-subscriber
Pendapatan
Iklan
Sharing
Pengakses
Lisensi Content





Sumber. Booz & Allen Hamilton, Inc 2000 beserta olahan hasil penelitian.

Sudah disebutkan diatas bahwa pendapatan, portal berita, tergantung dari kualitas isi beritanya. Sedang isi berita tergantung dari cara pandang organisasi media yang juga merupakan kerangka berpijak bagi operasionalisasi organisasi media. Paradigma atau cara pandang media terhadap isi pemberitaan dapat dibagi dalam 2 (dua) bagian yaitu paradigma propaganda dan paradigma kehidupan dinamis masyarakat atau khalayaknya (Siregar, November 1997). Kedua paradigma ini selalu menekankan kepada kebutuhan khalayak atau pengguna terutama cara pandang kedua, paradigma kehidupan dinamis masyarakat.
Makin sesuai isi pemberitaan dengan kebutuhan pengakses akan semakin membuat loyalitas pengakses terhadap portal berita tersebut menjadi lebih kuat. Ini sesuai dengan gambaran yang diberikan oleh Hagel & Amstrong, 1997 : 52.

Contributions to member-generated content
Member Community
Member Loyalty
Hours of Usage
Member Relationship

Member Churn Rate
Customized interaction

Gb.2. Model Loyalitas, Hagel and Amstrong, 1997.

Struktur Persaingan dan Kinerja Portal Berita

Penelitian mengenai persaingan portal berita di Indonesia, dilakukan pada 8 (delapan) portal berita, seperti Detikcom, Kompas Cyber Media, Lippo star, Mandiri.com, berpolitik.com, satunet.com, ekspos.net, dan koridor,com, terhadap halaman depan (front page) dari masing-masing portal berita terhadap pendapatan iklan pada halaman depan dari tahun 2000-2001, menunjukkan bahwa pangsa pasar (market share) dari industri portal berita tersebut dikuasai sebesar 47,72 % pada bulan Juni 2001 oleh Detikcom diikuti oleh Kompas Cyber Media sebesar 29,20 % (B.Arnold.S, Thesis : 2001).
Hasil pangsa pasar ini menunjukkan bahwa struktur pasar cenderung menuju arah monopoli atau penguasaan pasar oleh satu atau dua perusahaan, ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Shepherd, 1997 : 16, bahwa perusahaan yang memiliki pangsa pasar lebih dari 40 % menujukkan struktur pasar menuju arah monopoli, namun dilihat dari kepemilikan organisasi, maka hal tersebut dapat dihindari sehingga struktur persaingan cenderung kepada arah monopolistic dan akan terjadi pengurangan besaran pangsa pasar secara bertahap (slowly).
Kemudian menurut analisis konsentrasi pasar memperlihatkan bahwa konsentrasi pasarnya berbentuk “tight oligopoly” ditunjukkan dengan nilai Index Hierschman Herfindahl (IHH) melebihi 1800. Karakteristik pada struktur pasar “tight oligopoly” ini adalah hanya ada beberapa perusahaan yang menguasai pasar, detikcom pada bulan desember 2000 meraih 45,09 % kemudian turun menjadi 29,08 % (IHH=845,44) dan bertindak saling menguntungkan diantara perusahaan-perusahaan besar (Shepherd, 1997:74). Adapun penghitungan IHH dapat dijelaskan dengan menggunakan perhitungan :
n
IHH = S (x)²
I = 1

Hasil penelitian yang menunjukkan karakteristik oligopoly ketat sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Atkin (1992) pada industri tayangan kabel dimana penguasaan pasar hanya terfokus pada 4 (empat) perusahaan besar yang beraktivitas pada bidang ini, yaitu Time Warner, Viacom, Disney, dan TCI sehingga setelah dikalkulasi konsentrasi pasar keempat perusahaan besar ini adalah 85 %.
Perhitungan yang dilakukan sehingga mengambil kesimpulan bahwa struktur pasar berbentuk oligopoly ketat diambil dari standar bahwa jika HHI (IHH) berada di atas 1800, maka persaingan menuju arah monopoli sedangkan kalau berada di bawah 1800 maka persaingan cenderung menuju arah persaingan sempurna (Albarran, 1996 : 111).
Hasil dari pengamatan terhadap kinerja portal berita dengan melihat interaksi antara pengakses dan pendapatan menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara jumlah pengakses dengan pendapatan iklan. Ini ditunjukkan dari penurunan konsentrasi pasar organisasi media online dari 49 % ke 29 % padahal pada tahap ini terjadi peningkatan jumlah pengakses. Ini sesuai seperti yang dikatakan Straubhaar & La Rose, 2001, bahwa pada sebuah Majalah semakin besar sirkulasi makin besar pendapatan, namun tidak terbukti karena pada majalah Modern Maturity dengan sirkulasi 20,535,786 menghasilkan pendapatan $ 59,460,589, bandingkan dengan sirkulasi Reader Digest sebesar 15,072,260 menghasilkan $ 402,973,357, lalu bandingkan lagi dengan pendapatan majalah Time dengan sirkulasi 4,102,168 menghasilkan pendapatan $ 436,623,516.
Pangsa Pasar dan konsetrasi pasar menunjukkan struktur pasar yang cenderung menuju arah monopoli sedangkan kinerja menunjukkan ketidakterkaitan antara pengakses dengan pendapatan dari iklan. Sedangkan hubungan antara struktur pasar dengan kinerja mengindikasikan bahwa rata-rata pendapatan per pengakses terjadi persaingan yang diperlihatkan dengan penurunan rata-rata pendapatan per pengakses. Menurut Shepherd : 1997, bahwa struktur persaingan akan semakin efisien, menuju arah persaingan, ditunjukkan dengan penurunan rata-rata pendapatan per pengakses. Ini juga menandakan bahwa pertumbuhan akan menurunkan konsentrasi pasar dan berdampak kepada hambatan masuk yang makin besar.
Indikasi ini dapat diperlihatkan bahwa pendapatan per pengakses (Rupiah pendapatan dari iklan/satu pengakses) detikcom pada tahun 2000 sebesar 571,05 menurun menjadi 480,54 pada tahun 2001 sedangkan Kompas Cyber Media meningkat dari 11,63 menjadi 23,52 (Thesis, 2001:61). Indikasi ini menunjukkan bahwa persaingan untuk mendapatkan peraihan pendapatan iklan pada media online berbasis berita bisa dimanfaatkan atau ada celah yang bisa digunakan.

Kesimpulan

Bahwa persaingan pada media online berbasis berita di Indonesia, pada pengamatan 8 (delapan) portal berita, menunjukkan bahwa ada persaingan untuk perolehan iklan. Namun tingkat persaingan yang terjadi bukan antara organisasi yang kecil, melainkan organisasi media yang sangat besar.
Peraihan tingkat efisiensi pada media online berbasis berita lebih banyak karena kedekatan antara pengguna dengan media yang sudah berbasis secara konvensional. Hingga sekarang media yang berbasis atau melakukan integrasi vertical masih tetap eksis bila dibandingkan dengan organisasi yang tidak mempunyai basis organisasi media konvensional.
Sisi teknologi tidak mempunyai pengaruh besar terhadap peningkatan pendapatan per pengakses dari organisasi media online karena pada media online lebih banyak dipengaruhi oleh isi (content) informasi yang ditawarkan oleh media tersebut, apakah sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan pengaksesnya ?. Oleh karena itu untuk merebut pangsa pasar pendapatan dari iklan diharapkan tiap organisasi media online untuk semakin membuat portal yang tersegmentasi atau memiliki sebuah keunikan tersendiri atau kekuatan atau karakter berbeda yang tidak dimiliki organisasi lainnya.
Hasil pengamatan memperlihatkan bahwa persaingan akan memperkuat organisasi media online besar tetap eksis dan organisasi media online yang kecil (tidak mempunyai tradisi bermedia) akan runtuh. Oleh karena itu diharapkan bahwa setiap portal berita menerapkan dan memperhatikan “loyalitas” pengakses sehingga prinsip “one click away” dapat dihindari.

















Pustaka

Albarran, Alan B. 1996. Media Economics “Understanding Markets, Industries, and Concepts”, Iowa State University Press, Iowa..

G.Spheherd, William: The Economics of Industrial Organization, 4th edition, Prentice-Hall, Inc, USA, 1997.

Hagel, John & Arthur G.Amstrong. Net Gain : Expanding Markets through Virtual Communities, Harvard Business School Press, Boston, Massachusetts, 1997.
Modahl, Mary,. “ Now or Never : How Companies Must Change Today to Win the Battle for Internet Consumers”, Forrester Research, New York, 2000.


Schwartz, Evan I. Webonomics “ Nine Essential Principles for Growing Your Business on the World Wide Web”. Bantam Doubleday Dell, USA, 1997.

Sen, Krishna & David T Hill. Media, Budaya, dan Politik Di Indonesia, Institut Studi Arus Informasi, 2000.

Straubhaar, Joseph & Robert La Rose. Media Now : Communications Media in the Information Age, 2nd Edition, Wadsworth, Belmont USA, 2000.

Yuliar, Sony. Et.al,. Memotret Telematika Indonesia : Menyongsong Masyarakat Informasi Nusantara, Pustaka Hidayah, 2001.

The Indonesia Cyber Industry & Market Research and analysis team. Indonesia Cyber Industry and Market, PT Elex Media Komputindo, Jakarta, . 2001.

Thesis, Benedictus Arnold S,. Pengaruh Struktur Pasar terhadap Kinerja Industri Portal Berita di Indonesia, Universitas Indonesia, 2001.

[1] Penyendiri disini bukanlah diasosiakan sebagai teralienasi, melainkan aktivitas yang bisa dilakukan sendiri oleh individu tersebut dirumah, baik dalam melakukan bisnis, aktivitas pribadi atau lainnya. Personal Komputer yang bisa di bawa secara mudah dari satu tempat ke tempat lainnya ; menyebabkan manusia seakan terhibur dengan fitur yang ditampilkan di layarnya karena sifatnya yang terintegrasi, seperti integrasi antara televisi dengan internet, internet dengan radio dan televisi, surat kabar dengan internet (on-line news), dan lainnya.
[2] Pageviews adalah jumlah pengakses yang melihat fitur pada sebuah portal dengan melihat tidak hanya pada fitur yang awal, tetapi ia melihat juga fitur lainnya yang termasuk di dalam fitur tersebut atau dengan kata lain, pengakses melihat lebih luas atau jauh ke dalam sebuah fitur.
FRANCHISE MEDIA (MEDIA WARALABA)


Perkembangan teknologi sudah membuat industri media semakin kompetitif. Kondisi ini terjadi karena teknologi semakin membuat kecepatan untuk memuat sebuah berita sebagai “nilai jual” menjadi lebih bersaing sesuai dengan kebutuhan audience (khalayak) media itu. Persaingan ini membuat sebuah media tidak hanya berusaha untuk memenuhi berita yang terfokus kepada kedekatan sosial khalayak, tetapi juga memenuhi kebutuhan “globalisasi” berita.
Pemenuhan kebutuhan dari segmen khalayak di bagian dunia lainnya menjadi sebuah keharusan untuk bersaing di dunia. Benar, seperti yang dikatakan oleh McLuhan bahwa ketika arus informasi yang masuk semakin cepat dan besar, maka dunia bukan lagi menjadi bagian-bagian yang terpisah, tetapi sudah menjadi “Global Village” atau Desa Global yang tersatu. Bagitu juga dengan perusahaan media, mereka bukan lagi menjadi satu yang terpisah, tetapi menjadi satu kesatuan yang mendunia.
John Naisbitt, dalam buku Megatrends 2000, memprediksi bahwa pada akhir 90-an sistem penjualan waralaba atau franchising akan menguasai lebih dari setengah keseluruhan penjualan eceran di Amerika. Penerapan waralaba itu sendiri, menurut Dominick, adalah sebuah hak ekslusif untuk mengoperasikan bisnis di daerah atau teritori yang telah ditentukan (Dominick, 1993 : 595). Eksistensi penerapan waralaba memang menjadi sebuah implementasi yang mudah, karena sudah ada penetapan aturan mengenai penerapannya.
Sebuah perusahaan besar selalu berusaha memperluas “brand (merek)” nya untuk memperkuat jaringan perusahaannya di sebuah area pemasaran. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan pemberian sebuah sistem yang biasa disebut sebagai waralaba (franchise). Pada sistem ini adalah 2 (dua) pihak yang akan terfokus, yaitu pemberi waralaba (franchisor) dan penerima waralaba (franchisee).

Pengertian Waralaba (Franchise)

Untuk memenuhi kebutuhan akan “globalisasi” berita salah satu yang dilakukan adalah membentuk sebuah media berbentuk gabungan (waralaba) terutama pada “isi berita (content)”, yaitu berita lokal dan berita internasional (sesuai dengan isi berita yang ada pada media induknya). Stoner mengatakan bahwa istilah waralaba sebagai sejenis perjanjian lisensi dimana perusahaan menjual satu paket yang terdiri dari merek, peralatan, bahan-bahan beserta petunjuk manejerialnya (Stoner, 1995:144).
Definisi diatas menunjukkan bahwa istilah waralaba lebih berfokus kepada bisnisnya dibandingkan “isi berita (content)” yang merupakan titik fokus utama pada sebuah media. Ini sesuai dengan konsep waralaba yang dinyatakan oleh Martin Mendelsohn yaitu waralaba format bisnis. Mendehlsohn menyatakan bahwa waralaba format bisnis adalah sebuah lisensi oleh seseorang (yang disebut franchisor atau pemberi waralaba) kepada pihak lain (franchisee atau penerima waralaba) (Mendehlsohn, 1997 : 4). Pemberian lisensi ini dijalankan dengan bantuan terus-menerus atas dasar-dasar komitmen yang telah ditentukan sebelumnya.
Sedang rumusan “franchisee” sendiri menurut The European Communities, Competition Law, Regulation No,1987/88, bahwa :
“A Franchise means a package of intangible property rights relating to the trademarks, trade names, shop signs, utility models, design, copyrights, know-how or patents, to bel exploited for the resale of goods or the provision of services to end users”

Dari paparan mengenai pengertian “Franchisee” dapat digambarkan bahwa : (Golzen & Barrow, 1986 : 16)
Keharusan adanya suatu perjanjian (ikatan kontrak) kerjasama tertulis yang mencakup semua hal yang telah disepakati bersama oleh franchisor (pemberi waralaba) dan franchisee (penerima waralaba).
Pihak penerima waralaba wajib melaksanakan waralabanya dengan mempergunakan sistem, metode atau prosedur yang telah ditetapkan secara baku oleh pemberi waralaba.
Penerima waralaba diizinkan (dalam kendali pemberi waralaba) untuk beroperasi denga memanfaatkan nama/merek dagang, format atau prosedur serta segala reputasi yang dimiliki oleh pemberi waralaba.
Penerima waralaba wajib membayar fee atau royalty kepada pemberi waralaba atas hak yang diperolehnya serta bantuan yang diberikan pemberi waralaba
Penerima waralaba berhak memperoleh ekslusifitas atas daerah pemasaran tertentu dari pemberi waralaba dimana ia adalah satu-satunya pihak yang berhak memasarkan barang atau jasa yang dihasilkannya. Dalam hal ini tidak ada penyertaan modal (equity participation) dari pemberi waralaba pada outlet atau produk yang dikelola penerima waralaba.
Penerima waralaba harus memiliki dan berhak secara penuh untuk mengelola bisnisnya sendiri
Hubungan erat antara pemberi waralaba dengan penerima waralaba bukan merupakan hubungan antara perusahaan induk (holding company) dengan cabangnya atau antara cabang dari perusahaan induk yang sama, atau antara individu dengan perusahaan yang dikontrolnya.

Sistem Perjanjian pada Industri Waralaba (franchise)

Perkembangan waralaba yang sangat luas sekarang ini seakan mengikuti Prinsip Dimensi yang dikembangkan oleh Sistem Mcdonaldisasi, yaitu efisiensi, daya hitung, daya prediksi serta kontrol, telah mencakup ke berbagai segi aktivitas mulai dari jasa binatu, mini market bahkan media. Perkembangan yang sangat cepat ini membuat kita harus lebih mengenali mengenai jenis waralaba itu sendiri, yaitu dapat dikategorikan sebagai :
Perjanjian Lisensi (Licensing Agreement/Trade Name Licensing).
Jenis perjanjian ini memberikan kewenangan kepada pengusaha tertentu untuk menggunakan sebuah bentuk atau cara untuk menghasilkan produk tertentu dengan merek (brand) yang diwaralabakan. Contoh pada bagian ini, pada usaha pembotolan (bottling) yang dilakukan oleh Coca-cola, produksi sabun dan deterjen, serta barang konsumsi lainnya.

Waralaba distribusi.
Jenis ini terfokus pada pabrikan yang menggunakan waralaba sebagai suatu cara untuk mendistribusikan hasil produksinya dengan menunjuk sebuah perusahaan tertentu sebagai distributor resminya (authorized dealer). Contohnya, Toyota Auto 2000 Sunter, merupakan distributor kendaraan Toyota di Sunter, atau Garuda Mas Motor pemegang Lisensi Mobil Merek BMW, dan lainnya.
Produsen Waralaba.
Jenis ini memperlihatkan bahwa pemberi waralaba juga merupakan produsen. Kriteria dari jenis ini adanya kesepakatan “franchisor” untuk menunjuk seorang “franchisee” yang akan menyalurkan ‘brand’ produknya ke wilayah tertentu. Sehingga terjadi parasit (ketergantungan) penerima waralaba terhadap pemberi waralabanya.
Bisnis Format Waralaba
Waralaba jenis ini menawarkan hak penggunaan paket usaha atau konsep untuk melakukan bisnis tertentu secara menyeluruh (total business concept), seperti pengolahan produk atau jasa, penggunaan merek dagang, strategi pemasaran, kendali mutu, penggunaan operasi dan komunikasi dua arah, guna menghasilkan dan memasarkan barang atau jasa yang memiliki standar kualitas tertentu yang disesuaikan dengan format baku dan universal walau disesuaikan dengan adaptasi pada produk lokal. Contoh, restoran Kentucky yang memiliki menu lokal, yaitu Perkedel.


Master Waralaba.
Jenis ini merupakan kelanjutan dari Bisnis Format Waralaba, dimana penerima waralaba selain dimungkinkan memiliki hak untuk mengoperasikan waralabanya, juga berhak menjual hak waralaba yang dimilikinya kepada pihak-pihak lain yang berlokasi di wilayah tertentu. Contoh, McDonald Indonesia yang memegang hak waralaba di Indonesia memberikan hak waralabanya kepada pengusaha lain di kota-kota lain di Indonesia.
Waralaba Sistem Campuran (Franchise Mixed System).
Jenis ini merupakan kombinasi antara bisnis format waralaba dan waralaba tradisional, dalam hal ini produk atau tradename licensing.

Penerapan Waralaba dalam Industri Media
Selama ini yang kita ketahui mengenai industri media adalah kompetisi yang terjadi diantara media, konvensional dan interaktif, yang mengaitkan antara media (perusahaan), masyarakat, dan negara. Organisasi Media dapat berhasil pada sebuah kompetisi karena kekuatan dan keikutsertaan dalam memenuhi kebutuhan khalayaknya dan juga aturan atau sistem pada sebuah Pemerintahan.
Waralaba diterapkan pada sebuah industri selalu tergantung pada kondisi pasar (market). Ketika persaingan yang terjadi pada sebuah wilayah tinggi, maka penerapan sistem waralaba dilakukan bukan untuk ekspansi perusahaan namun untuk mengurangi keterbatasan “pendapatan (revenue)” yang didapat pada sebuah teritori. Namun, ketika kompetisi yang terbentuk adalah tidak ketat (monopoli), maka penerapan sistem waralaba bertujuan untuk ekspansi (perluasan) eksistensi organisasi media.
Penerapan sistem waralaba terjadi apabila Organisasi Induk melihat adanya sebuah peluang untuk memperluas (diversifikasi) mereknya di sebuah teritori tertentu. Tujuan dari perluasan selain untuk “memperkenalkan” merek usahanya, juga untuk memperkuat “merek” produknya di sebuah teritori tertentu.
Selama ini penerapan Konsep Waralaba dilakukan pada produk konsumsi (Consumption goods), seperti McDonalds, Kentucky, Burger King, dan lainnya. Juga diterapkan pada bidang usaha Otomotif, seperti Astra Internasional yang memegang Lisensi Toyota, atau bidang lainnya seperti Manufaktur ; tetapi belum pernah atau jarang terjadi Penerapan Sistem Waralaba digunakan pada Industri Media.

Aplikasi pada tiap Media
Konsep komunikasi yang dikemukakan oleh Laswell, Who Says What to whom in what channel with what effect, memperlihatkan bahwa media (channel) merupakan bagian dari proses komunikasi (Ruben, 1992:25). Ini memperlihatkan bahwa media juga memegang peranan penting pada sebuah proses berkomunikasi. Media sendiri, seperti yang dikatakan oleh Ruben : 99, adalah alat yang digunakan untuk mengirim dan menerima pesan, seperti telepon, surat-surat, dokumen tertulis dan lainnya.
Secara makro maka pengaruh media terhadap sebuah masyarakat sangat besar karena jangkauan yang terliput oleh media sangat luas. Tetapi industrinya sangatlah tidak bersaing apabila kita melihat pada negara-negara sedang berkembang dimana Sistem yang digunakan cenderung masih otoritarian, walaupun kondisi sekarang mengarah kepada Sistem Free-Press.
Media merupakan bagian dari Pers dalam arti sempit dan luas. Pers dalam arti sempit adalah media massa cetak, seperti surat kabar, majalah, tabloid, dan sebagainya ; sedangkan pers dalam arti luas meliputi media massa elektronik, antara lain radio, televisi (Onong, 2000 : 90) ; serta sekarang ini adalah campuran antara kedua media tersebut yaitu media interaktif (internet).
Ketika sebuah organisasi media melakukan perluasan “brand” nya dengan melakukan sistem waralaba, maka yang pertama harus diperhatikan adalah penerapan pada isi (content) media, kemudian manajemen usaha yang dilakukan oleh organisasi media tersebut, baik itu berupa pemasaran, keuangan, struktur organisasi, dan masalah manajemen lainnya. Namun, pada sebuah organisasi media penerapannya sangat berbeda dengan organisasi non-media.

Televisi dan Radio.
Analisis mengenai media yang dapat digunakan untuk waralaba akan kita telusuri secara komprehensif. Pada industri televisi biaya (cost) yang digunakan pada awal pendirian sebuah stasiun membutuhkan dana investasi tidak kurang dari U$ 50 Juta atau sekitar Rp 500 miliar, sedangkan biaya kebutuhan dalam setahun pertama (fixed cost + variable cost) minimal sekitar Rp 100 miliar (Artikel Investor, edisi 47 : 2002). Sedang untuk Radio setengah bahkan seperempat dari total biaya yang diperlukan diatas, walaupun ada juga stasiun radio yang hanya membutuhkan pemancar frekuensi saja serta alat secukupnya untuk beroperasi.
Segi biaya ini memang sangat memungkinkan terjadinya sistem waralaba, namun sekarang ini sudah ada Televisi Kabel, seperti KabelVision, Indo Vision, dan lainnya yang membawa serta stasiun-stasiun Televisi dunia, seperti CNN, HBO, Star TV, TV5, dan lainnya. Penerapan sistem Waralaba pada bagian ini terjadi sangat memungkinkan karena salah satu criteria dari sebuah sistem waralaba adalah Produsen Waralaba dimana penerima waralaba (franchisee) mendistribusikan seluruh “brand” yang diterima dari pemberi waralaba (franchisor) ; walau dari sistem pembayaran (baik itu fee total ataupun initial fee (pembayaran awal)) tidak diketahui namun dari sistem tersebut seharusnya menggunakan sistem waralaba karena di Indonesia, siaran dari Televisi-televisi satelit tersebut menggunakan sebuah Perusahaan distributor.
Alasan kedua untuk menganalisis, apakah sistem waralaba digunakan pada industri elektronik ini pada fungsi media itu sendiri, yaitu mendidik, memberikan informasi, mempengaruhi, dan menghibur (Onong : 93-94). Selain kondisi yang perlu diperhatikan adalah “culture proximity (kedekatan budaya)” antara stasiun Televisi dengan khalayak suatu wilayah. Jadi, kalaupun terjadi sistem waralaba pada sebuah stasiun baik televisi ataupun radio, yang terjadi adalah waralaba pada program acara yang akan ditayangkan. Misalnya, ketika Perang Irak ke-2 terjadi, maka hampir semua stasiun TV di Indonesia memberikan informasi dari stasiun TV di luar negeri, seperti CNN, Al Jazeera, maupun BBC, tapi hanya tayangan program berita saja bukan hiburan, sedangkan pada program hiburan, seperti film barat, telenovela, semuanya itu dibeli secara putus begitu juga dengan tayangan olahraga dan lainnya ; selain program tayangan dalam negeri yang bisa dilakukan dengan in-house program.
Globalisasi juga tidak memungkinkan media interaktif (internet) untuk melakukan sistem waralaba karena setiap orang yang mempunyai komputer, telepon serta akses internet akan bisa menggunakannya di setiap tempat tanpa hambatan waktu dan ruang.

Media Konvensional (Surat Kabar, Majalah, dan lainnya)
Ciri yang melekat pada media konvensional antara lain adalah ciri publisitas atau penyebaran kepada publik atau khalayak dimana sifatnya adalah umum serta isinya terdiri dari berbagai hal yang erat kaitannya dengan kepentingan umum. Kemudian ditinjau dari segi kuantitas lembarannya, media ini mempunyai jumlah halaman yang banyak.
Ciri kedua, periodisitas, ciri ini lebih menekankan pada keteraturan terbitnya. Ketiga, bercirikan universalitas, yaitu isinya beraneka ragam yang diambil dari seluruh berita di dunia ; keempat, aktualitas, adalah ciri yang menekankan kepada berita yang di informasikan menuruti faktor kekinian dan menuruti keadaan/kondisi sebenarnya (Onong : 91-92).
Pada surat kabar dan majalah, kita melihat di Indonesia sekarang ini kecenderungannya waralaba dilakukan menurut sistem waralaba distribusi dimana pemberi waralaba tidak memberikan secara penuh (total franchise) terhadap produknya, namun hanya memberikan hak untuk mendistribusikannya, seperti PT. Indoprom yang mendistribusikan majalah Newsweek, Asia Week, atau Surat kabar seperti New York Times, Washington Post, dan lainnya.
Jadi pada jenis waralaba ini perusahaan distributor tidak bisa merubah isi (content) dari surat kabar atau majalah yang dikirim dari perusahaan induk, yang mereka lakukan hanyalah memasarkan atau mendistribusikannya dimana hasil keuntungan dihitung sesuai dengan perjanjian yang dilakukannya. Kalau pada perusahaan waralaba “consumption goods” maka perjanjian yang dilakukan adalah 60:40 (60 % untuk perusahaan induk, dan 40 % untuk perusahaan distributor).
Pada majalah juga sudah ada penerapan sistem waralaba, seperti Cosmopolitan yang melakukan waralaba dengan sistem Bisnis Format Waralaba, dimana penerima waralaba boleh melakukan inovasi terhadap isi tanpa merubah keseluruhan isi dari majalah yang diwaralabakan. Pada majalah Cosmopolitan ini maka isi (content) tetap berasal dari Amerika, sedangkan informasi lokalnya dinegosiasikan dengan pihak pemberi waralaba.
Jeffrey Bradach, dalam bukunya Franchise Organizations, membahas mengenai 3 (tiga) karakteristik dari organisasi waralaba, yaitu :
Kesamaan identitas. Contoh McDonalds dengan huruf “M” berwarna kuning adalah sama di seluruh dunia, atau logo nama Pizza Hut, atau logo Majalah Cosmopolitan internasional dengan terbitan lokal akan sama dimana tulisannya tertera pada sampul majalah tersebut. Kesamaan ini dimaksudkan sebagai usaha untuk memberikan jaminan kepada publik atau khalayak terhadap produk waralaba tersebut. Begitu juga pada logo surat kabar terbitan luar, seperti Washington Post, tidak berbeda di seluruh dunia.
Produksi lokal mencakup produk dan jasa yang dihasilkan. Maksudnya bahwa hasil produksi lokal memenuhi standar, baik itu materi (isi) serta proses pembuatannya yang memenuhi ketentuan pemberi waralaba. Seperti Majalah Cosmopolitan, dimana materi kebanyakan dari Amerika (perusahaan induk), dan perusahaan lokal hanya menerjemahkan materi tersebut ke dalam bahasa lokal. Sedang materi lokal diperbolehkan dengan persetujuan dari perusahaan induk.
Beroperasi dalam jangkaun geografis tertentu. Misalnya, majalah Female Indonesia hanya memiliki hak distribusi di wilayah Indonesia, di wilayah Singapura yang beredar adalah majalah induknya (edisi Singapura) yang diterbitkan oleh MPH Magazines Pte Ltd.

Kesimpulan
Penerapan sistem waralaba di Indonesia pada industri media memang masih sangat kecil bila dibandingkan pada industri lainnya, terutama pada produk “consumption goods”, manufaktur, otomotif, dan lainnya. Padahal penerapan sistem waralaba ini berusaha juga untuk memperluas “brand” sebuah produk dan juga membuka lapangan usaha bagi pengusaha lokal.
Pada industri media, penerapan sistem waralaba memang masih berupa waralaba sistem distribusi, dimana penerima waralaba hanya mendistribusikan produk dari perusahaan induk. Walaupun begitu sudah ada perusahaan induk yang melakukan waralaba pada perusahaan lokal, seperti Majalah Cosmpolitan yang berbasis di Amerika (di Indonesia diberikan kepada Kelompok MRA (Mugi Rekso Abadi) ), Female Indonesia yang berbasis di Singapura di bawah perusahaan Mediamillenia, F1 Racing yang berbasis di Inggris diberikan kepada Quadra Medika Publika, dan banyak lagi.
Pemberian waralaba cenderung untuk mempertahankan isi dari media yang diwaralabakan, sedang penerapan sistem manajemen akan sangat berbeda karena pada media lokal ada sebuah divisi yang tidak berhubungan dengan perusahaan induk karena mereka berdiri sendiri, seperti tahap perencanaan, perusahaan waralaba akan menyesuaikan waktu penerbitan dengan perusahaan induknya (waktu penerbitan dihitung berdasarkan pengiriman naskah dari induk hingga proses produksi dan naik cetak) ; sementara media non-waralaba memiliki waktu yang fleksibel dan tidak terikat oleh pihak luar.
Keuntungan yang diperoleh oleh pengusaha penerima waralaba adalah biaya yang dikeluarkan akan minimal sekali, seperti pemberian upah untuk sumber daya manusia dimana terjadi keterbatasan dibandingkan dengan non-waralaba. Sedangkan perkembangan media waralaba di Indonesia akan semakin berkembang mengikuti globalisasi, bebasnya arus informasi, sehingga media akan semakin terbuka terhadap persaingan. Persaingan itu sendiri lebih mengutamakan pada persaingan yang tersegmentasi.












Daftar Pustaka
Bradach, Jeffrey. 1998. Franchise Organizations. Harvard Business School Press, Boston, Massachusetts.
Dominick, Joseph R. 1993. The Dynamics of Mass Communication. Mc Graw Hill Internasional Edition.
Effendy, Onong Uchjana. 2000. Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi.PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
Golzen, Godfrey & Colin Barrow. 1986. Taking Up a Franchise : The Daily Telegraph Guide, 3rd edition. Kogan Page Limited, London, UK.
Mendelhson, Martin. 1997. Franchising. PT Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta
Stoner, James A.F. 1995. Management. Prentice Hall Internasional Edition, New Jersey, USA.

Artikel
Artikel Internet. 1999. Toward s Strategic Model of The Franchise Form Of. www.sbaer.uca.edu.
Majalah Investor. Edisi 47 30 Januari – 12 Februari 2002. Bisnis TV.
Tesis Hersinta Universitas Indonesia. 2002. Perbandingan Manajemen Departemen Redaksi dan Iklan pada Majalah Non-waralaba dan Waralaba : Studi Kasus Pada Majalah Femina dan Cosmopolitan Indonesia. Jakarta